mediamuria.com, Gunungkidul – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengadakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk mengantisipasi risiko gagal panen yang diadakan di Gunungkidul, pada hari Senin, 22 September 2025. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan tentang pentingnya langkah mitigasi dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Salah satu upaya dilakukan melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI), program yang membekali petani dengan pengetahuan serta pendampingan agar lebih siap beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C di atas era pra-industri, melampaui ambang batas 1,5 °C sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
“Di Indonesia, tahun 2024 juga menjadi yang terpanas sejak 1981 dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C dibandingkan normal 1991–2020,” ucap Dwikorita. Fakta ini disebut sebagai alarm keras bagi umat manusia.
Dwikorita menegaskan, perubahan iklim menimbulkan kekhawatiran serius, mulai dari meningkatnya intensitas bencana, krisis air, hingga dampaknya pada sektor pertanian. Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan memprediksi dunia akan menghadapi krisis pangan pada 2050 jika pemanasan global tidak terkendali.
”Kondisi ini dipicu oleh kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional yang membuat sektor pertanian sangat rentan”, ucapnya.
Sebagai langkah adaptasi, BMKG terus menggelar SLI di berbagai daerah. Program ini tidak hanya menjadi ajang edukasi, tetapi juga aksi strategis bagi petani. Peserta SLI diajarkan cara membaca prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas sesuai musim, hingga memanen air hujan.
“Hal ini penting karena perubahan iklim membuat sistem tradisional “titi mongso” menjadi tidak relevan lagi bagi petani,” imbuhnya.
Di Kabupaten Gunungkidul, SLI Tematik 2025 diikuti oleh 60 peserta, terdiri dari kelompok tani, kelompok wanita tani, penyuluh, hingga petani milenial. Program ini menjadi wadah kolaborasi antara BMKG dan pemerintah daerah. Turut hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Bupati Gunungkidul Joko Parwoto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY Sri Darmadi Sudibyo, Direktur Layanan Iklim BMKG Marjuki, serta Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Sleman Reni Karningsih.
Kegiatan tersebut mengusung tema “Implementasi Program Unggulan GNPI melalui Sinergi Pertanian Berkelanjutan: Paham Iklim, Petani Tangguh”.
“Cuaca ekstrem sebenarnya bisa diprediksi sebelumnya. Petani perlu terbiasa membaca informasi cuaca, bahkan cukup lewat gawai, untuk menyesuaikan pola tanam,” ucap Dwikorita.
Ia menambahkan, kemampuan petani dalam memahami iklim akan berkontribusi pada keberhasilan swasembada pangan dan pengendalian inflasi. Dengan cara ini, menurut dia, kerusakan tanaman dapat diminimalkan dan hasil panen lebih optimal.
“Ketahanan pangan juga akan semakin kuat,” jelas Dwikorita.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul. Ketua penyelenggara, Anita Windrati, menyampaikan bahwa pelaksanaan SLI bertujuan untuk memberikan pemahaman pentingnya informasi cuaca dan iklim bagi para petani, khususnya petani hortikultura bawang merah dan cabai.
Joko Parwoto menekankan pentingnya program SLI karena sektor pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Gunungkidul sekaligus sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Pertanian adalah tulang punggung ekonomi Gunungkidul, tetapi juga sektor yang paling rentan. Dengan SLI, petani belajar langsung menerapkan informasi iklim ke usaha tani, sehingga lebih siap menghadapi kekeringan maupun hujan ekstrem,” ujar Joko Parwoto.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Darmadi Sudibyo, menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan SLI tematik di Gunungkidul. Sri Darmadi Sudibyo menilai SLI selaras dengan upaya menjaga stabilitas harga pangan dan inflasi, karena pemahaman petani terhadap iklim berpengaruh besar terhadap pasokan dan keterjangkauan harga.
“Produksi pertanian kita akan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kehadiran SLI ini menjadi ikhtiar penting untuk memperkuat daya tahan sektor pangan,” tuturnya.
Lebih jauh, Dwikorita mengatakan, bahwa SLI juga merupakan bentuk kontribusi BMKG terhadap program prioritas nasional ASTA CITA yang dirancangkan Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam mencapai swasembada pangan, energi, dan air serta memperkuat pembangunan sumber daya manusia.
“Sekolah Lapang Iklim adalah jembatan antara data iklim dan strategi pertanian. Ini adalah aksi nyata BMKG untuk mendukung ketahanan pangan nasional ditengah tantangan perubahan iklim,” tutup Dwikorita
Program SLI sendiri telah berjalan diberbagai daerah dengan melibatkan ribuan petani. Melalui kegiatan tatap muka, praktik lapangan, hingga simulasi, peserta diajak memahami keterkaitan antara dinamika iklim dan produktivitas pangan.
Pendekatan berbasis komunitas menjadikan SLI sebagai contoh nyata penerapan sains yang langsung menyentuh kebutuhan petani. BMKG menilai tantangan perubahan iklim yang semakin nyata menuntut adanya strategi adaptasi yang kuat dan terukur. Dengan kondisi cuaca ekstrem yang kian sering terjadi, keberadaan SLI dinilai sangat relevan untuk memperkuat kapasitas petani agar lebih tangguh menghadapi risiko iklim.
Baca Juga Berita Lainnya Melalui Laman mediamuria.com
https://mediamuria.com/statistik-pemain-timnas-indonesia-bermain-di-luar-negeri/: BMKG Gencarkan Sekolah Lapang Iklim Untuk Antisipasi Risiko Gagal Panenhttps://mediamuria.com/hasil-lengkap-dan-klasemen-bri-super-league-2025-26-pekan-6/: BMKG Gencarkan Sekolah Lapang Iklim Untuk Antisipasi Risiko Gagal Panen