mediamuria.com, Jakarta – Setelah kalah atas Arab Saudi dan Irak, sehingga membuat Timnas Indonesia gagal lolos Piala Dunia 2026. Isu masa depan pelatih Timnas Indonesia, Patrick Kluivert, kembali menjadi sorotan publik. Hasil yang tak sesuai dengan harapan publik bukan hanya menutup harapan ke Piala Dunia, tetapi juga memunculkan tanda tanya besar, apakah Kluivert masih layak dipertahankan?
Kekalahan ini menjadi hasil negatif ketiga secara beruntun yang diderita timnas dibawah asuhan Kluivert dalam dua bulan terakhir. Selama bermain away tidak pernah mendapatkan poin dibawah asuhan Kluivert. Meski pelatih asal Belanda itu datang dengan reputasi besar sebagai mantan striker Barcelona dan Ajax Amsterdam, performa skuad Garuda justru menurun sejak fase awal Kualifikasi Zona Asia dimulai.
Publik sepakbola nasional kini terbelah antara dua pandangan besar: kelompok yang meminta PSSI segera mengganti Kluivert, dan kelompok lain yang menilai ia masih layak diberi kesempatan karena proses pembenahan tim membutuhkan waktu.
Kritik: “Gaya Eropa Tidak Cocok dengan Karakter Pemain Indonesia”
Salah satu kritik utama yang muncul terhadap Kluivert adalah gaya permainan Eropa-nya yang dinilai tidak cocok dengan karakteristik pemain Indonesia. Dalam tiga laga terakhir, Indonesia tampil dengan pola 4-3-3 atau 4-2-3-1 yang cenderung kaku, minim kreativitas, dan mudah kehilangan keseimbangan saat transisi. Total Football gagal total diera kepelatihan Kluivert
Mantan pemain timnas era 2000-an, Budi Sudarsono, mengatakan bahwa Kluivert terlalu menekankan pada build-up dan tekanan tinggi yang belum cocok diterapkan.
“Indonesia bukan Belanda. Kita tidak punya fisik seperti pemain Eropa. Kalau mau pressing tinggi, stamina pemain akan habis lebih dulu. Harusnya Kluivert menyesuaikan diri, bukan memaksakan sistem,” ujarnya dalam wawancara di sebuah stasiun televisi olahraga.
Selain itu, keputusan Kluivert yang sering mengganti posisi pemain juga menuai kritik. Beberapa pemain muda seperti Marselino Ferdinan dan Rafael Struick disebut kehilangan kepercayaan diri karena kerap dijadikan eksperimen taktik.
Media sosial pun ramai dengan tagar #KluivertOut yang sempat menjadi trending topic di X (Twitter) Indonesia pada Minggu pagi, menandakan kekecewaan fans terhadap performa timnas.
Pembelaan PSSI: “Proyek Jangka Panjang Tidak Bisa Dihentikan Begitu Saja”
Meski kritik deras mengalir, pihak PSSI belum mengambil keputusan tegas mengenai nasib Kluivert. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menegaskan bahwa federasi akan melakukan evaluasi menyeluruh setelah dua laga tersisa dikualifikasi.
“Kami menghargai pandangan publik, tapi sepakbola butuh konsistensi. Patrick datang dengan visi pembinaan jangka panjang. Kami ingin melihat hasilnya secara utuh, bukan hanya dari dua atau tiga laga,” ujar Erick dalam konferensi pers usai laga.
Menurut Erick, kontrak Patrick Kluivert dengan Timnas Indonesia sebenarnya masih berlaku hingga pertengahan 2026, termasuk opsi perpanjangan jika target tertentu tercapai.
“Evaluasi akan dilakukan secara profesional. Kalau memang ada yang harus diperbaiki, kami akan bicarakan langsung dengan coach Patrick,” tambahnya.
Statistik Buruk, Hanya Menang Penguasaan Bola
Dalam catatan resmi PSSI, sejak memimpin timnas pada Maret 2025, Patrick Kluivert sudah menjalani 12 pertandingan dengan hasil:
- 4 kali menang,
- 3 kali imbang, dan
- 5 kali kalah.
Produktivitas gol timnas menurun drastis: hanya mencetak 8 gol dalam 12 laga, dibandingkan 18 gol dalam jumlah pertandingan yang sama diera pelatih sebelumnya, Shin Tae-yong.
Namun disisi lain, ada peningkatan dalam penguasaan bola dan koordinasi bertahan. Dalam pertandingan melawan Irak, meski kalah, Indonesia mencatatkan penguasaan bola 56% dan hanya kebobolan melalui dua skema bola mati.
Hal itu menunjukkan adanya perkembangan dalam organisasi permainan, meski hasil akhir belum berpihak. Meski demikian hasil akhirlah yang menentukan sebuah kemenangan bukan hanya sekedar menang dalam penguasaan bola.
Dilema PSSI: Evaluasi atau Pergantian?
PSSI kini berada dalam posisi sulit. Jika Kluivert dipecat, federasi harus mencari pelatih baru untuk kembali membangun pondasi sejak awal. Namun jika dipertahankan, risiko tekanan publik yang semakin besar juga tidak bisa dihindari.
Kesalahan terbesar federasi adalah mengganti pelatih sebelumnya Shin Tae-Yong di tengah jalan, hal tersebut membuat pondasi Timnas Indonesia yang tinggal tahap penyempurnaan justru malah hancur berantakan. Namun keputusan soal nasib Kluivert harus berbasis data, bukan tekanan emosi publik. Namun dari hasil ini menunjukkan keadaan yang benar-benar kacau tak ada progres justru sebuah kemunduran.
Patrick Kluivert kini berada dititik genting kariernya di Indonesia. Ia datang dengan reputasi besar dan harapan tinggi, namun hasil di lapangan belum sejalan. Apakah PSSI akan memilih konsistensi jangka panjang atau revolusi cepat dengan mengganti pelatih?
Satu hal yang pasti, publik sepakbola Indonesia menunggu keputusan besar itu. Keputusan yang bisa menentukan arah masa depan Timnas Garuda menjelang tahun 2026.
Baca Juga Berita Lainnya Melalui Laman mediamuria.com
https://mediamuria.com/presiden-prabowo-kumpulkan-menteri-di-kertanegara-ada-apa/: Gagal Bawa Timnas Indonesia Ke Piala Dunia, Pertahankan Atau Pecat Patrick Kluivert? https://mediamuria.com/dominasi-jabar-di-hari-pertama-pon-bela-diri-2025-di-kudus-lewat-judo-dan-taekwondo/: Gagal Bawa Timnas Indonesia Ke Piala Dunia, Pertahankan Atau Pecat Patrick Kluivert?