mediamuria.com – Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 resmi dibuka di New York, pada hari Selasa (23/9/2025). Hampir 150 kepala negara dan pemerintahan hadir dalam forum diplomasi terbesar dunia ini. Termasuk Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto juga turut hadir dalam pertemuan ini.
Dalam pertemuan ini, alih-alih menjadi perayaan delapan dekade PBB, didalam forum justru dibayangi krisis mendalam, yakni tentang perang di Ukraina dan Gaza, kebuntuan Dewan Keamanan, hingga terpuruknya keuangan akibat berkurangnya kontribusi Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari NPR, pada hari Selasa, (23/9/2025), tema besar yang mencuat adalah relevansi PBB di abad ke-21. Apakah lembaga yang lahir pada 1945 masih mampu menjalankan mandat perdamaian globalnya? Kekhawatiran kini bukan hanya pada konflik, tetapi juga kelangsungan operasional organisasi itu sendiri.
Salah satu pembahasan utama dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 adalah tentang konflik Palestina dan Israel. Dalam pidatonya Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara di Palestina.
“Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel,” ucap Prabowo.
Prabowo juga menegaskan bahwa hanya dengan begitulah kita dapat mencapai perdamaian sejati, kedamaian sejati, dan tidak ada lagi kebencian.
Gelombang negara besar seperti Inggris, Kanada, Australia, Prancis, Portugal, dan lainnya yang mengumumkan atau akan mengumumkan pengakuan terhadap Negara Palestina sebelum Sidang Umum PBB ke-80 memberi dorongan diplomatik kuat. Tetapi, tidak segera memberikan kemerdekaan secara de facto. Ada dua hambatan yang menjadi kunci dalah kasus ini, yakni kontrol di lapangan (Israel menguasai wilayah) dan mekanisme keanggotaan PBB yang membutuhkan rekomendasi Dewan Keamanan (di mana AS dapat memveto).
Sebelumnya, 142 negara mendukung resolusi Sidang Umum untuk “langkah nyata, terukur, dan tidak dapat diubah” menuju solusi dua negara. Namun, AS dan Israel menolak langkah tersebut. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan. Langkah ini hanya bersifat simbolis dan sama sekali tidak membawa kita lebih dekat pada terwujudnya negara Palestina. Dia memperingatkan pengakuan itu justru berpotensi memicu tindakan balasan dari Israel.
Lantas apa sebenarnya hak veto ini ? hak Veto diibaratkan seperti tombol merah yang cuma dimiliki segelintir negara. Begitu ditekan, seluruh keputusan Dewan Keamanan langsung batal. Ada lima Negara yang mempunyai tombol sakti ini, yakni Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris. Alasan lima negara tersebut menjadi anggota tetap warisan dari kemenangan Perang Dunia II karena saat PBB dibentuk pada 1945, kelima negara ini dianggap pemenang perang sekaligus penjaga utama perdamaian dunia. Oleh karena itu, mereka diberi hak istimewa yang sampai sekarang masih berlaku.
Dalam Dewan Keamanan PBB, keputusan besar tidak cukup hanya lewat suara mayoritas. Dari 15 anggota memang butuh suara setuju. Tapi itu saja tidak cukup. Ada aturan khusus, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris harus ikut mendukung atau minimal tidak menolak.
Jika salah satu negara tetap tidak menyatakan ‘tidak setuju’ (veto) maka resolusi tidak bisa disahkan melalui Dewan Keamanan, meskipun mayoritas anggota lainnya menyetujui. Ini adalah alasan hak veto sering disebut sebagai tombol mati yang bisa menghentikan aspirasi dunia, bahkan ketika mayoritas sudah bersuara sama. Dengan kata lain, jika kita mengacu pada kasus Palestina meskipun 4 pemegang hak veto yakni Rusia, Tiongkok, Prancis dan Inggris sudah menerima kemerdekaan ataupun gencatan senjata di Gaza, tapi Amerika Serikat menekan tombol vetonya maka semuanya menjadi batal. Maka secara de facto kemerdekaan Palestina sulit untuk terjadi.
Catatan terbaru sampai September 2025, Amerika Serikat sudah enam kali menggunakan hak veto sejak perang Israel-Hamas meletus di Oktober 2023. Contoh paling baru adalah pada 18 September 2025 saat Dewan Keamanan mengajukan resolusi gencatan senjata pembebasan sandera dan jalur bantuan ke Gaza. Hampir semua negara setuju, tapi Amerika menekan tombol veto dan resolusi pun akhirnya kandas.
Beberapa bulan sebelumnya atau pada 4 Juni 2025, situasi serupa terulang. Saat itu, ada resolusi yang menyerukan genjatan senjata permanen tanpa syarat di Gaza. Lagi-lagi, semua anggota dewan mendukung kecuali Amerika Serikat yang langsung memveto. Tren ini bukan hal yang baru. Hingga akhir 2023, Amerika Serikat sudah lebih dari 45 kali memakai veto untuk menggagalkan resolusi yang menekan Israel.
Menurut data terbaru per September 2025, total ada sekitar 89 veto yang pernah dikeluarkan Amerika sejak PBB berdiri. Sebanyak 51 di antaranya berkaitan langsung dengan Israel dan Palestina. Artinya, lebih dari separuh penggunaan veto Amerika di PBB dipakai untuk melindungi Israel. Hal ini membuat hak veto sering disebut bukan sekedar aturan prosedural, namun senjata politik yang nyata dampaknya bagi jutaan orang di lapangan.
Baca Juga Berita Lainnya Melalui Laman mediamuria.com
https://mediamuria.com/bmkg-gencarkan-sekolah-lapang-iklim-untuk-antisipasi-risiko-gagal-panen/: Kemerdekaan Palestina Terhalang Veto Amerika Serikat, Meski 4 Pemegang Lainnya Setujui Kemerdekaan. https://mediamuria.com/presiden-prabowo-sampaikan-pidato-di-sidang-umum-ke-80-pbb/: Kemerdekaan Palestina Terhalang Veto Amerika Serikat, Meski 4 Pemegang Lainnya Setujui Kemerdekaan.