MAKAR, REPRESI DAN HIPOKRISI ELITE

Sharing is caring

Suara Rakyat dan Stigma “Makar”

mediamuria.com – Pagi itu, jalanan kembali penuh dengan suara rakyat. Ada yang membawa poster bertuliskan “Harga naik, hidup makin sulit”, ada pula yang hanya berteriak karena keputusasaannya tak lagi bisa dipendam. Mereka datang dengan tangan kosong, hanya bersenjatakan suara. Namun, apa yang mereka teriakkan dibalas dengan sebuah kata yang berat: Makar. Bahkan ada yang menyamakannya dengan terorisme. Pertanyaannya, benarkah rakyat yang hanya berbekal tubuh dan teriakan mampu meruntuhkan sebuah rezim?

Max Weber, dalam esainya Politics as a Vocation (1919), menegaskan bahwa negara pada dasarnya bertumpu pada “monopoly of the legitimate use of physical force” atau monopoli penggunaan kekerasan yang sah. Artinya, tanpa akses pada instrumen politik dan militer, rakyat mustahil melakukan makar. Sejarah juga menunjukkan bahwa makar hanya lahir dari konsolidasi elite—bukan dari suara jalanan semata. Dengan demikian, ketika Presiden dan para ketua partai menyebut demo rakyat sebagai “makar”, sesungguhnya yang disasar bukan sekadar massa di jalan, melainkan bayangan tentang elite lama yang masih haus kuasa dan ingin menunggangi gelombang kemarahan rakyat.

Bahasa Kekuasaan dan Bahaya Represi

Antonio Gramsci, dalam Selections from the Prison Notebooks (1971), mengingatkan bahwa hegemoni bekerja bukan hanya lewat pemaksaan fisik, melainkan juga lewat bahasa dan narasi. Label “makar” atau “terorisme” bisa menjadi instrumen hegemonik yang memberi legitimasi untuk tindakan represif. Aparat diberi ruang untuk melihat setiap teriakan sebagai ancaman, setiap barisan massa sebagai musuh negara.

Sejarah Indonesia mencatat hal yang sama. Tahun 1965, narasi makar dipakai untuk membenarkan pembersihan politik yang brutal dan mengorbankan jutaan nyawa. Pada 1974, peristiwa Malari dituding sebagai upaya makar untuk menggulingkan Soeharto, padahal inti persoalannya adalah penolakan terhadap dominasi modal asing. Bahkan pada 1998, gerakan mahasiswa kerap dicurigai sebagai makar, meski faktanya justru lahirlah transisi demokrasi. Narasi makar selalu hadir untuk mempersempit ruang kritik rakyat.

Di sisi lain, publik juga tidak lupa akan hipokrisi elite. Presiden bisa saja menolak tunjangan DPR sebagai gestur moral, tetapi ia tidak bisa menutup fakta bahwa ia adalah Ketua Umum Partai sekaligus Presiden Republik Indonesia.

Niccolò Machiavelli, dalam Il Principe (1513), menulis bahwa seorang pemimpin sering kali memerlukan simbol untuk mempertahankan citra, meskipun akar masalah tetap dibiarkan membusuk. Pemotongan tunjangan DPR adalah simbol kecil, tapi bukan solusi struktural. Rakyat menuntut perbaikan kebijakan, bukan sekadar drama pencitraan.

Seperti kata Bung Hatta dalam pidatonya di Konstituante (1957), “Demokrasi kita haruslah demokrasi yang memberi tempat bagi kritik, sebab tanpa kritik, kekuasaan akan lupa diri.” Menolak tunjangan DPR tanpa menyentuh akar persoalan hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab.

Jalan Keluar: Dengarkan Rakyat, Bukan Membungkam

John Locke, dalam Two Treatises of Government (1689), menegaskan bahwa legitimasi pemerintahan berasal dari “consent of the governed” atau persetujuan rakyat yang diperintah. Jika rakyat menjerit karena beban hidup yang kian berat, maka jawabannya adalah perbaikan ekonomi-politik, bukan ancaman pidana. Dialog jauh lebih terhormat daripada represi. Transparansi lebih menyehatkan daripada menebar tuduhan. Demokrasi tidak boleh dibangun dengan rasa takut, tetapi dengan keberanian mendengar suara terbawah.

Represi dan hipokrisi elite hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa. Jika pemerintah serius menjaga stabilitas, maka jalannya bukanlah menuduh rakyat dengan kata makar, melainkan berani memperbaiki kebijakan yang menyakitkan. Sejarah telah mengajarkan kita: kekuasaan yang alergi kritik akhirnya runtuh oleh tekanan rakyatnya sendiri.

Oleh: Sirajuddin Arridho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *